Di sebuah sudut kota yang sering terabaikan, hidup seorang anak bernama Rangga. Ia tumbuh besar bukan di rumah megah atau lingkungan elit, melainkan di sebuah gubuk reyot berdinding triplek dan beratapkan seng bocor, berdampingan dengan tumpukan sampah dan bau yang menyengat. Rangga bukan siapa-siapa. mg4d Ia hanya seorang anak pemulung yang setiap harinya membantu ibunya mengais botol plastik dari tempat pembuangan akhir.
Tapi siapa sangka, anak yang dulunya sering dipanggil “si bau” oleh teman-teman sebaya itu, kini berdiri gagah di atas panggung internasional, mewakili Indonesia sebagai pembicara muda di forum pendidikan dunia di Swiss.
Kisah Rangga adalah kisah tentang air mata, kegigihan, dan perubahan takdir. Inilah cerita MG4D yang tidak hanya menyentuh hati, tapi juga mengguncang kesadaran kita akan arti mimpi dan perjuangan.
Mengharukan: Langit Bocor dan Perut Lapar Tak Pernah Menghentikannya
Sejak kecil, Rangga terbiasa hidup dalam serba kekurangan. Ayahnya meninggal ketika ia masih duduk di bangku TK, akibat kecelakaan kerja di proyek bangunan. Ibunya, Bu Lastri, terpaksa menjadi pemulung demi menyambung hidup. “Kami sering makan hanya sekali sehari. Kadang hanya nasi dan garam,” kenang Rangga dengan suara bergetar.
Namun, di tengah segala keterbatasan, Rangga memiliki satu harta yang tak ternilai: semangat belajar. Setiap hari, setelah membantu ibunya mengangkut karung berisi sampah, ia akan menyempatkan diri belajar di bawah lampu jalan. Buku-buku bekas yang ditemukan di tempat sampah menjadi sumber ilmu dan hiburan baginya.
“Waktu itu saya nemu buku Matematika kelas 6. Padahal saya masih kelas 3. Tapi saya baca, saya coba pecahkan soal-soalnya,” katanya. Air mata tak bisa ditahan saat mendengar kisahnya. Bagaimana bisa seorang anak kecil, yang harusnya bermain dan tertawa, justru harus bergelut dengan kelaparan dan cemoohan?
Menggugah: Titik Balik dari Sebuah Foto yang Viral
Satu kejadian mengubah segalanya. Saat itu, seorang mahasiswa fotografi sedang melakukan proyek sosial di kawasan tempat tinggal Rangga. Ia memotret Rangga yang sedang belajar di bawah lampu jalan sambil duduk di atas tumpukan kardus. Foto itu diunggah ke media sosial dan dalam waktu singkat menjadi viral.
Foto itu diberi judul: “Belajar Tanpa Atap: Rangga dan Mimpi yang Terang di Tengah Gelap.” Komentar netizen membanjiri postingan tersebut. Banyak yang terharu, banyak pula yang marah—marah karena realita semacam ini masih terjadi di negara yang katanya sudah merdeka puluhan tahun.
Tak lama kemudian, sebuah yayasan pendidikan mendatangi rumah Rangga dan menawarkan beasiswa penuh hingga lulus SMA, bahkan jika memungkinkan, sampai kuliah.
“Waktu itu saya nggak percaya. Saya pikir mereka bercanda,” ujar Bu Lastri, menahan tangis haru. Sejak saat itu, hidup Rangga mulai berubah perlahan tapi pasti.
Menginspirasi: Rangga Menjadi Simbol Harapan Anak Miskin Indonesia
Dengan beasiswa yang ia terima, Rangga masuk ke salah satu SMP unggulan. Meski awalnya merasa minder, ia membuktikan bahwa kemiskinan bukan penghalang untuk berprestasi. Ia selalu berada di peringkat tiga besar, aktif dalam lomba cerdas cermat, hingga menjadi duta literasi di sekolahnya.
Di SMA, Rangga semakin bersinar. Ia menciptakan aplikasi belajar berbasis Android yang bisa diakses secara gratis oleh siswa-siswa di daerah terpencil. Aplikasi itu diberi nama “Ruang Rangga”, sebagai bentuk dedikasi bagi anak-anak yang punya mimpi besar, tapi tidak punya fasilitas.
Puncaknya, ia diundang ke sebuah konferensi pendidikan internasional di Swiss sebagai delegasi pelajar termuda dari Asia Tenggara. Dalam pidatonya yang penuh semangat dan bahasa Inggris yang fasih, Rangga berkata:
“Kemiskinan bukan dosa. Yang salah adalah sistem yang membiarkan anak-anak miskin seperti saya hidup tanpa akses pendidikan.”
Tepuk tangan panjang menggema di ruangan. Banyak peserta konferensi yang menangis. Sosok kecil dari pinggiran Jakarta itu berhasil mengguncang hati dunia.
Menghebohkan: Nama Rangga Jadi Pembicaraan Nasional dan Dunia
Setelah pidatonya viral, media nasional berebut ingin mewawancarainya. Judul-judul seperti “Anak Pemulung Jadi Delegasi Dunia” dan “Rangga, Cahaya dari Lorong Gelap Ibu Kota” menghiasi halaman depan koran dan portal berita. Rangga pun diundang ke berbagai talkshow, menjadi ikon kampanye literasi, bahkan namanya disebut dalam pidato Menteri Pendidikan.
Tak hanya itu, presiden sendiri memanggil Rangga ke Istana Negara. Di sana, ia diberikan penghargaan sebagai Putra Inspirasi Bangsa. Rangga hanya tersenyum dan berkata:
“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya ingin setiap anak miskin tahu, bahwa mimpi mereka itu sah. Dan mereka pantas untuk diperjuangkan.”
Kini, Rangga mendapat tawaran kuliah dari berbagai universitas ternama di luar negeri, termasuk Harvard, Oxford, dan Tokyo University. Namun ia berkata, ia ingin tetap kuliah di dalam negeri dulu agar bisa membangun sistem pendidikan yang lebih adil dari dalam.
Penutup: Kisah yang Mengubah Banyak Hati
Rangga adalah bukti nyata bahwa kemiskinan bukan akhir cerita, melainkan awal dari perjuangan yang luar biasa. Kisahnya tidak hanya mengharukan, menggugah, menginspirasi, dan menghebohkan, tapi juga mengingatkan kita semua bahwa satu kesempatan bisa mengubah segalanya.
Jika foto kecil bisa mengubah nasib seorang anak pemulung, bayangkan berapa banyak “Rangga-Rangga” lain di luar sana yang menunggu untuk ditemukan.
Mungkin kamu, yang sedang membaca ini, adalah orang berikutnya yang akan menginspirasi dunia. Atau mungkin kamu bisa jadi seseorang yang memberi peluang, bukan sekadar simpati.
Karena dalam dunia yang penuh luka, kisah seperti Rangga adalah cahaya yang menuntun jalan banyak jiwa.